Jumat, 26 November 2010

Dinamika Perencanaan Kota


Pada tanggal 24 Nopember 2010 kemarin, ada tulisan menarik di rubrik ini dari saudara Gigih Mardana (GM) terkait perencanaan pembangunan dengan judul Desain Pembangunan Berdasar Riset Opini. Dalam tulisan tersebut GM menawarkan gagasan baru kepada publik yaitu perencanaan pembangunan bersarkan riset opini publik yang dipandang memiliki standar ilmiah.
            Sebuah wacana segar yang diyakini mampu menyempurnakan sistem yang ada selama ini. Gagasan GM ini sangat patut untuk diapresiasi sebagai terobosan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang berbasis masyarakat. Penulis hanya akan berusaha menambahkan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian serius, karena selama ini menjadi masalah dalam tataran perencanaan. Akibat hal – hal tersebut tujuan pembangunan kita belum dapat tercapai sesuai yang diharapkan. Sebatas pengamatan penulis adah tiga masalah yang perlu mendapat penanganan serius yaitu :
            Pertama, Kurangnya sinergi antara perencanaan pembangunan (development plan) dan perencanaan penataan ruang (spatial plan). Sebagaimana kita kita ketahui bahwa selama ini di Indonesia ada dua jenis perencanaan yang diakui pemerintah dan berdasar hukum yaitu perencanaan pembangunan  yang memuat mengenai arahan, kebijakan dan strategi pembangunan dan diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, serta perencanaan penataan ruang  yang memuat arahan, kebijakan dan strategi penataan ruang dan diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang.
            Secara teori seharusnya kedua jenis perencanaan ini harus dapat berjalan secara sinergi, namun dalam prakteknya umumnya keduanya berdiri sendiri – sendiri sehingga menimbulkan banyak permasalahan. Dalam konteks perkotaan masalah yang paling dominan tentunya adalah arah pembangunan kota yang tidak jelas dan mengarah pada pada pengembangan kota yang tidak terkendali (urban sprawl).
          

Selasa, 23 November 2010

Harapan Seorang PNS



Ada yang menarik dalam isi beberapa harian yang terbit hari Jumat 19 Nopember 2010 di wilayah Jawa Timur. Perbedaan yang mencolok dengan biasanya adalah adanya pengumuman penerimaan CPNS tahun 2010. Khusus untuk Jawa Timur, pada tahun ini merekrut total 12.000 CPNS yang terbagi untuk pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota. Proses rekrutmen kali ini tentunya sangat diharapkan berlangsung secara fair dan profesional.
Masih segar dalam ingatan kita terbongkarnya sindikat calo rekrutmen CPNS beberapa waktu yang lalu, dimana tentunya menimbulkan pandangan yang kurang baik dalam proses rekrutmen CPNS. Kondisi tersebut tentunya sangat kontradiktif dengan semangat reformasi birokrasi yang gencar dilaksanakan. Ibarat sebuah perjalanan banyak sekali gangguan untuk dapat menghantarkan birokrasi Indonesia menuju good governance atau pemerintahan yang baik dari segala aspek.
Sampai saat ini Pegawai Negeri Sipil (baca PNS) masih menjadi pekerjaan favorit untuk masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan catatan jumlah pendaftar yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Apabila kita telisik lebih jauh ternyata ada fenomena yang menarik dibalik itu semua.
Pertama, adalah masih adanya kesalahan motivasi ketika mendaftar sebagai PNS artinya bukan niatan untuk mengabdi kepada negara tetapi motivasi untuk mendapatkan pekerjaan yang ringan atau “santai” tetapi gaji yang terus meningkat. Pemikiran yang sangat masuk akal untuk menjadi motivasi , tetapi tentunya tidak demikian kondisinya. Sangat disayangkan apabila motivasi ini masih dominan di benak pendaftar CPNS dikarenakan pada hakikatnya PNS sebagai abdi negara bukanlah pekerjaan ringan .yang tidak membutuhkan skill dan kompetensi memadai. Abdi adalah kata serapan dari bahasa jawa yang berarti pelayan,bagaimana mungkin masyarakat yang terus mengalami dinamika akan mendapatkan pelayanan terbaik dari PNS yang tidak kompeten dan motivasi kerja yang rendah.
            Kedua, dari tahun ke tahun fenomena rekrutmen CPNS selalu dimanfaatkan oknum – oknum yang tidak bertanggungjawab untuk mengeruk keuntungan dengan melihat antusiasme pendaftar yang besar. Sasaran mereka terutama kalangan berduit yang bersedia mengeluarkan biaya besar asal dapat masuk menjadi PNS dengan jalan instant. Apabila direnungkan lebih jauh tentunya hal ini merupakan suatu bentuk tindakan yang dapat menghambat terbentuknya aparat negara yang berkualitas demi terciptanya pelayanan prima atau excellent service. Sistem yang tidak fair dalam proses rekrutmen ibarat penyakit yang merongrong konsep pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
           

Kamis, 21 Oktober 2010

Sengketa Lingkungan Perspektif Kearifan Lokal


Beberapa waktu yang lalu sengketa lingkungan di wilayah Blitar Raya sempat menjadi berita hangat di harian ini (Radar Blitar). Permasalahan tersebut adalah pro kontra penambangan pasir besi di pantai pasur yang terletak di Desa Bululawang Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar. Unjuk rasa warga pro penambangan melibatkan  puluhan truk pengangkut pasir menuntut agar penambangan pasir besi terus berjalan, seolah menjadi tandingan demonstrasi warga sebelumnya yang menuntut penutupan penambangan pasir besi karena dianggap merusak lingkungan. Argumen yang diajukan kedua belah pihak adalah permasalahan lingkungan klasik selama ini yaitu perbedaan kepentingan antara yang menginginkan lingkungan tetap lestari dan di sisi yang lain adalah faktor ekonomi sebagai alasan eksploitasi alam. Kiranya sangat tidak bijak apabila dua kepentingan ini terus berdiri sebagai unsur yang saling bertentangan, padahal seharusnya keduanya harus berdiri sebagai elemen yang saling mendukung.
Sejarah telah mencatat bahwa pertentangan kepentingan sebagai dinamika bangsa ini terbukti mampu diatasi dengan kearifan lokal. Sebagaimana kita ketahui bahwa kearifan lokal adalah cara – cara yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat yang berasal dari pemahaman mendalam mereka akan lingkungan setempat. Pemahaman tersebut tercipta dikarenakan tinggal di tempat itu secara turun temurun. Tentunya kearifan lokal mempunyai karakteristik yang khas sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah masing – masing.                                                                                   .
Sebagai masyarakat yang tinggal di kawasan Blitar Raya harus diakui bahwa kita telah mempunyai budaya kearifan lokal yang khas diantaranya tepo sliro (tenggang rasa) atau saling menghormati kepentingan orang lain. Hal ini apabila kita dikaitkan dengan permasalahan diatas semestinya penyelesaiannya dapat berjalan dengan lebih elegan. Namun kita juga tidak menutup mata bahwa iklim demokrasi di negeri ini juga telah membuka kebebasan public dalam menyalurkan aspirasinya.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Antara Kita, Alam dan Bencana


Prediksi tentang tenggelamnya Jakarta tahun 2030 sempat menjadi topik hangat media massa beberapa saat lalu. Beberapa analisa dari para ahlipun mencuat seiring prediksi tersebut. Salah satu pakar dari ITB menyebut bahwa prediksi tersebut didasarkan pada fakta bahwa di Jakarta ada dua kondisi yang terus berlangsung sampai sekarang yaitu beban tanah Jakarta terhadap bangunan tinggi sehingga kuantitas air yang dibutuhkan semakin besar serta eksploitasi air tanah yang berlebihan. Berdasarkan kenyataan tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa sekali lagi manusia berperan penting terhadap kerusakan alam yang telah diciptakan dengan seimbang ini.
Mungkin karena statusnya sebagai Ibukota negaralah yang membuat ancaman bagi Jakarta menjadi berita yang menghebohkan, padahal apabila kita telusuri lebih jauh mungkin hampir seluruh wilayah Indonesia bahkan mungkin dunia terancam eksistensinya sebagai akibat ketamakan manusia.
Entah sudah berapa banyak bencana yang terjadi belakangan ini yang disebabkan kerusakan alam. Perubahan Iklim menjadi salah satu kontributor terhadap bencana yang terjadi, contohnya banjir hebat di Pakistan bulan Agustus kemarin yang menyebabkan 1600 jiwa tewas, 20 juta warga kehilangan tempat tinggal, lahan pertanian rusak, jembatan hancur, jalanan rusak parah, jaringan komunikasi rusak, dengan kerugian mencapai jutaan dollar. Ada juga gelombang panas di Rusia dengan suhu mencapai 40 o c yang dipicu oleh kebakaran hutan dan disebabkan kekeringan terburuk selama beberapa dekade sehingga mengakibatkan kerugian miliaran dollar.  

Kamis, 16 September 2010

Menggagas Konsep Eco Town


Semenjak komitmen Kota Blitar akan pengarusutamaan program pengembangan sanitasi yang berpihak pada masyarakat miskin dalam pembangunan perkotaan mulai dikumandangkan melalui Deklarasi Blitar tanggal 27 Maret 2007, pembangunan sanitasi di Kota Proklamator ini pun mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Komitmen tersebut semakin dikuatkan dengan mencantumkan pembangunan berwawasan lingkungan pada visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005 – 2025. Dengan visi ini diharapkan walaupun terjadi pergantian kepala daerah, komitmen tentang lingkungan tetap dipertahankan. Disamping itu secara kelembagaan program pengembangan sanitasi di Kota Blitar telah mempunyai lembaga formal dengan adanya pokja sanitasi dari tingkat kelurahan sampai tingkat kota dengan tugas dan wewenangnya masing – masing. Ketiga hal tersebut kiranya sudah menjadi pondasi yang cukup kuat dalam pembentukan eco - town atau kota yang ramah lingkungan .
Eco-Town mengacu pada konsep salah satu kota di Jepang yaitu kota Kawasaki, yang merupakan kota pertama di Jepang yang menerapkan hal tersebut. Sedangkan di Indonesia, kota yang mulai mengembangkan konsep ecotown adalah Kota Bandung . Pada prinsipnya konsep eco town mengacu pada prinsip pengolahan limbah dengan 3 R atau Reuse, Reduce dan Recycle. Reuse berarti menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang sama ataupun fungsi lainnya. Reduce berarti mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah. Dan Recycle berarti mengolah kembali (daur ulang) sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat..
Apabila di kota asalnya konsep eco town lebih menitikberatkan pada sektor industri, maka untuk proses adopsi di Kota Blitar bisa dititikberatkan pada sector rumah tangga/domestic. Selain itu Kota Blitar sangat potensial sekali untuk dapat mengembangkan konsep eco – town menjadi lebih maksimal dengan menjadikan masyarakat sebagai subyek atau konsep pembangunan partisipatif.  Hal ini dapat kita lihat dari catatan pembangunan sanitasi Kota Blitar selama ini yang mengarusutamakan masyarakat. Tengok saja upaya Sanitasi Berbasis Masyarakat / Sanimas yang sampai saat ini berjumlah 10 unit IPAL komunal, belum lagi untuk unit yang masih dalam proses pembangunan.
Sanimas terbukti mampu memberi kontribusi nyata dalam peningkatan kualitas sanitasi di Kota Blitar, terutama untuk peningkatan akses masyarakat akan sarana pengolahan limbah baik black water dari kamar mandi/WC maupun grey water dari dapur. Konsep Sanimas yang menjadikan masyarakat sebagai aktor utama sangat sesuai untuk diadopsi bagi pelaksanaan program 3 R di setiap lingkup masyarakat.

Kamis, 29 Juli 2010

Gerakan Sekolah Konservasi


Istilah konservasi mungkin sudah sangat populer di kalangan masyarakat kita, akan tetapi pada kenyataannya konservasi sampai saat ini relatif hanya menjadi jargon yang masih membutuhkan implementasi yang lebih konkrit. Berbagai definisi muncul dari istilah konservasi, namun salah satu definisi yang mungkin bisa mewakili berbagai definisi tersebut adalah apa yang dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902), orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi yaitu bahwa konservasi berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together/bersama) dan servare (keep/save/memelihara). Apabila diterjemahkan secara istilah memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Konservasi dalam pengertian sekarang, sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource (pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana).
Apabila dikaitkan dengan tema peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2010 ini Many Species. One Planet. One Futureatau terjemah bebasnya (Banyak Species, Satu Planet, Satu Masa Depan) yang memberikan gambaran kepada kita akan pentingnya mempertahankan keanekaragaman hayati maka upaya konservasi perlu mendapatkan prioritas pada roda pembangunan negeri ini.
Di Indonesia, kegiatan konservasi seharusnya dilaksanakan secara bersama oleh pemerintah dan masyarakat, mencakup masyarakat umum, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dunia pendidikan, serta pihak-pihak lainnya.
Salah sektor yang sangat potensial menjadi media dalam pelaksanaan konservasi alam adalah dunia pendidikan atau lebih spesifiknya sekolah. Hal ini dikarenakan sekolah adalah wahana pembelajaran yang mampu membawa implikasi  positif kepada ruang lingkup yang lebih luas dalam hal ini masyarakat di sekitar siswa dan guru. Upaya pembentukan sekolah yang berwawasan lingkungan merupakan solusi konkrit untuk menjawab permasalahan konservasi selama ini yaitu pemahaman dan perilaku manusia yang masih melihat sumberdaya alam sebagai sumber kebutuhan yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Pemahaman ini harus dihapus dengan pemanfaatan sumber daya alam yang berkesinambungan. Paradigma pemanfaatan sumber daya alam yang berkesinambungan merupakan makna sebenarnya dari kegiatan konservasi sumber daya alam.   
Ada beberapa hal yang menjadi prinsip dasar dalam upaya menciptakan konsep sekolah konservasi, diantaranya : Prinsip penghematan energi (energy saving), dalam hal ini lebih spesifik kepada penggunaan energi listrik yang kebanyakan di negara kita masih menggunakan sumber yang memanfaatkan bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil sebagaimana kita ketahui adalah sumber daya yang terbatas. Konsep penghematan listrik bisa dimulai dari desain bangunan sekolah dengan pencahayaan dan ventilasi yang baik sehingga meminimalisir penggunaan lampu dan pendingin ruangan pada waktu siang hari.

Prinsip kedua adalah pengelolaan sampah (waste management), yang dapat dilakukan dengan pemilahan sampah dengan penyedian paling tidak dua jenis tempat sampah yaitu organik dan anorganik dan juga pengelolaan sampah organik menjadi kompos untuk skala sekolah. Pada kedua jenis pengelolaan sampah tersebut para siswa diharapkan berpartisipasi aktif didalamnya.
Prinsip ketiga adalah dengan meningkatkan  gerakan gemar menanam bagi para siswa sehingga akan menambah luasan ruang terbuka hijau serta sebagai upaya konservasi air tanah dari pohon yang ditanam. Dari pengalaman yang sudah ada gerakan menanam ini akan lebih menarik apabila dikemas dalam konsep kompetisi antar kelas sehingga lebih menambah semangat para siswa.
Prinsip berikutnya adalah dengan meningkatkan luas resapan air yang dapat dicapai dengan strategi pembuatan sumur resapan juga pembuatan lubang resapan biopori. Lubang Resapan Biopori (LRB) adalah lubang yang dibuat secara tegak lurus (vertikal) kedalam tanah, dengan diameter 10 -30 cm dan kedalaman 100 cm, atau tidak melebihi muka air tanah dangkal. Lubang tersebut kemudian diisi sampah organik sebagai sumber makanan fauna tanah dan akar tanaman yang mampu membuat biopori atau liang (terowongan – terongan kecil) dalam tanah. Jadi selain untuk meningkatkan resapan air, sampah organik pada Lubang Resapan Biopori dapat dimanfaatkan sebagai kompos. Konsep Lubang Resapan Biopori juga sedang gencar disosialisasikan oleh Kementrian Lingkungan Hidup.
Konsep sekolah konservasi ini nantinya secara legal formal telah tercakup dalam salah satu program dari Kementerian Lingkungan Hidup yaitu program adiwiyata. Program adiwiyata bertujuan menciptakan kondisi yang baik bagi sekolah untuk menjadi tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah, sehingga dikemudian hari warga sekolah tersebut dapat turut bertanggungjawab dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Program adiwiyata ini dikompetisikan sampai skala nasional dengan indikator dan kriteria yang telah ditetapkan. Khusus untuk Kota Blitar pada tahun 2010 ini berhasil memperolah anugerah sekolah adiwiyata tingkat nasional melalui SDK Santa Maria.
 Pada akhirnya yang penting bukanlah penghargaan atau hadiah yang menjadi prioritas, tetapi upaya penanaman kepedulian terhadap lingkungan sejak dini di lingkungan sekolah sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup dan mendukung program pembangunan berkelanjutan.
(Dimuat Jawa Pos Radar Blitar 29 Juli 2010)

Sabtu, 10 April 2010

UU Lingkungan, Antara Harapan dan Kenyataan


Permasalahan lingkungan hidup mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah disamping masalah pendidikan dan kesehatan. Hal tersebut tidak lepas dari berbagai permasalahan yang timbul dari pencemaran lingkungan baik air, udara maupun tanah. Sebagai bukti perhatian dari Pemerintah akan permasalahan lingkungan adalah dengan disahkannya Undang – undang Lingkungan yang baru yaitu UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (PPLH). Secara substansi ada perbedaan yang cukup signifikan antara Undang – undang ini dibanding sebelumnya yaitu Undang – undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup terutama dari aspek penegakan hukum yang lebih tegas dan jauh lebih berat ancaman hukumannya. Disamping itu Undang – undang PPLH konon relatif  lebih ilmiah karena disusun oleh para pakar lingkungan hidup dan komprehensif karena memadukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan dari hulu sampai hilir.
Undang – undang lingkungan terdahulu yaitu UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup relatif kurang menggigit atau terkesan melempem apabila ditinjau dari fungsinya sebagai payung hukum pengelolaan lingkungan. Selain itu dalam kurun waktu pelaksanaannya yang lebih dari 10 tahun Undang – undang tersebut relatif kurang dapat mengakomodir permasalahan lingkungan yang timbul.
Ada beberapa faktor yang mungkin dapat menjelaskan penyebab permasalahan tersebut. Yang  pertama adalah lemahnya sosialisasi perundangan tersebut dibuktikan dengan tingkat pengetahuan masyarakat akan Undang – Undang tersebut relatif rendah. Sebuah survey yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia (IALHI) pada tahun 2009 menunjukkan 15 % masyarakat sebuah kota memahami UU tersebut dengan baik. Sebagian besar lagi, yaitu 25 % mengetahui judul tanpa mengetahui substansi pengaturan dengan baik. Sedangkan yang memprihatinkan 60 % masyarakat kota tersebut tidak mengetahui judul dan substansi pengaturan dengan baik. Faktor kedua adalah lambatnya derivasi peraturan dibawahnya sampai pada tingkat pelaksana dalam hal ini adalah peraturan perundangan di tingkat pemerintah povinsi maupun kab/kota, sehingga pengejawantahan substansi undang – undang tersebut juga terhambat dikarenakan tidak adanya peraturan pelaksanaannya. Faktor berikutnya adalah sosiologis masyarakat Indonesia dimana jumlah masyarakat tradisional lebih besar dari masyarakat rasional yang tentunya mempersulit efektifitas sebuah undang – undang. Belum lagi masalah kemiskinan yang relatif cukup besar sehingga jangankan untuk melaksanakan substansi sebuah perundangan, untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari saja sulit.

Rabu, 10 Maret 2010

Kota Blitar Tanggap dan Peduli Perubahan Iklim


Fenomena perubahan iklim (climate change) merupakan isu global yang sudah mendunia. Hampir seluruh bagian dunia mengalami kondisi tersebut termasuk di Indonesia. Apabila dikaji lebih jauh aktor utama penyebabnya adalah juga karena ulah manusia yang tidak bijak dalam mengelola lingkungan. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah pemanasan global (global warming) yang diakibatkan meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Radiasi matahari yang masuk ke bumi seharusnya sebagian dipantulkan lagi menuju angkasa luar. akan tetapi pantulan tersebut dihalangi oleh Gas Rumah Kaca yang ada di atmosfer . Fenomena ini lazim dikenal sebagai Efek Rumah Kaca (ERK). Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca menyebabkan akumulasi panas di atmosfer yang mempengaruhi sistem iklim global. Gas Rumah Kaca sendiri disebabkan oleh aktivitas manusia yang terbagi menjadi paling tidak enam jenis gas yaitu  Karbondioksida (CO2) yang banyak dihasilkan dari buangan kendaraan bermotor maupun cerobong industri, Gas methan (CH4) yang banyak dihasilkan dari sampah,  Nitrous oksida (N2O) yang berasal dari kegiatan pertanian/pemupukan, transportasi dan industri, Hidrofluorokarbon (HFCs) yang berasal dari sistem pendingin, foam, pelarut dan pemadam kebakaran, Perfluorokarbon (PFCs) dan Sulfurheksafluorida (SF6)  yang berasal dari proses industri Dari keenam gas ini data penelitian yang sudah ada menunjukkan CH4 mempunyai global warming potential (potensi penyebab pemanasan global) 21 kali lebih besar daripada CO2.
Berdasarkan kondisi tersebut ada dua hal yang telah disepakati sebagai upaya penanggulangan perubahan iklim yaitu mitigasi (pencegahan) dan adaptasi (penyesuaian). Mitigasi dilakukan sebagai upaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sedangkan adaptasi bertujuan meningkatkan kemampuan adaptif manusia sebagai akibat perubahan lingkungan atau ekosistem karena perubahan iklim. Apabila tidak ada upaya untuk menurunkan laju emisi Gas Rumah Kaca (Mitigasi) maka dampak perubahan iklim 20-30 tahun mendatang akan sangat sulit dikendalikan dan kebutuhan adaptasi akan membutuhkan biaya yang sangat besar (Kemal Dervis, 2007).

Kamis, 18 Februari 2010

Wujudkan Kota Blitar Sustainable City


Secara konsep ideal antara aktifitas manusia dalam memenuhi hajat hidupnya dan kualitas lingkungan seharusnya dapat berdiri sebagai dua sisi yang saling mendukung. Akan tetapi pada realitanya kedua hal ini bagai dua sisi yang kontradiktif, dalam arti ketika aktifitas manusia dalam bentuk apapun mencapai hasil yang memuaskan bagi pihak yang berkepentingan rata – rata diikuti oleh degradasi mutu lingkungan.
Ada berbagai faktor yang dapat menjelaskan kondisi tersebut diantaranya adalah pemakaian prinsip ekonomi yang digunakan secara tidak bijak dimana dengan modal seminimal mungkin mampu mencapai hasil maksimal tanpa disertai pemikiran keberlanjutan sistem. Hal lainnya adalah kepedulian tentang kualitas lingkungan yang relatif masih rendah dimana lingkungan akan terasa penting ketika sudah terjadi bencana akibat ulah manusia. Mungkin masih banyak lagi alasan untuk lagi untuk dapat menjelaskan kondisi di atas tapi mungkin lebih baik kita lebih berkonsentrasi untuk melihat sejenak apa yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan sinergi yang harmoni antara aktifitas manusia dan kualitas lingkungan sehingga tercipta konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Kota Blitar sebagai Kota kecil yang miskin sumber daya alam sangat potensial untuk pengembangan program menuju kota yang berkelanjutan ( Sustainable City) walaupun pada kenyataannya banyak tantangan yang harus dipikirkan langkah – langkah untuk menghadapinya.

Sabtu, 30 Januari 2010

Menunggu Aksi Program Ligkungan Kota Blitar 2010)


Tahun 2009 yang telah lewat tercatat sebagai periode bersejarah bagi proses pembangunan berwawasan lingkungan di Indonesia karena pada akhir tahun tersebut telah diterbitkan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan (PPLH). Secara substansi terdapat perbedaan yang cukup signifikan apabila dibandingkan dengan Undang – undang sebelumnya yaitu UU No 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan terkait dengan kebijakan dan kebijaksanaan mengenai lingkungan.

Sebagai respon dari terbitnya Undang – undang tersebut tentunya Kota Blitar yang terkenal sebagai Kota Sanitasi juga telah menyiapkan program – program prioritas sebagai wujud partisipasi aktif dalam implementasi UU tersebut. Berdasar fakta di lapangan memang ada permasalahan – permasalahan krusial menyangkut lingkungan yang membutuhkan penanganan segera.

Beberapa hal yang perlu segera mendapat penanganan adalah pencemaran kali sumber wayuh dan sumber jaran sebagai akibat dari buangan sentra industri tahu di Kelurahan Pakunden. Dalam hal ini dituntut  adanya wisdom policy dari leading sector masalah  lingkungan di jajaran Pemerintah Kota Blitar, mengingat industri tahu juga merupakan penggerak sector perekonomian di Kota Blitar. Selain limbah tahu permasalahan limbah lainnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah limbah ternak yang selama ini belum terkelola dengan baik. Sama kasusnya seperti pada tahu permasalahan limbah ternak ini juga harus ditangani secara bijaksana mengingat peternakan juga merupakan penggerak sector ekonomi. Penanganan kedua limbah ini dapat dikembangkan menjadi siklus yang dapat dimanfaatkan misalnya sebagai biogas sebagai alternatif energi yang ramah lingkungan.

Hal lain yang juga memerlukan penanganan serius adalah ancaman matinya mata air di Kota Blitar dimana selama ini mata air merupakan aset alam yang cukup memberi kontribusi yang signifikan bagi masyarakat Kota Blitar. Penanganan mata air bisa dikembangkan dengan menggandeng sektor lain seperti diperuntukkan sebagai obyek wisata alam yang selama ini belum pernah dilakukan dan sebenarnya potensial untuk dilakukan.