Sabtu, 10 April 2010

UU Lingkungan, Antara Harapan dan Kenyataan


Permasalahan lingkungan hidup mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah disamping masalah pendidikan dan kesehatan. Hal tersebut tidak lepas dari berbagai permasalahan yang timbul dari pencemaran lingkungan baik air, udara maupun tanah. Sebagai bukti perhatian dari Pemerintah akan permasalahan lingkungan adalah dengan disahkannya Undang – undang Lingkungan yang baru yaitu UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (PPLH). Secara substansi ada perbedaan yang cukup signifikan antara Undang – undang ini dibanding sebelumnya yaitu Undang – undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup terutama dari aspek penegakan hukum yang lebih tegas dan jauh lebih berat ancaman hukumannya. Disamping itu Undang – undang PPLH konon relatif  lebih ilmiah karena disusun oleh para pakar lingkungan hidup dan komprehensif karena memadukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan dari hulu sampai hilir.
Undang – undang lingkungan terdahulu yaitu UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup relatif kurang menggigit atau terkesan melempem apabila ditinjau dari fungsinya sebagai payung hukum pengelolaan lingkungan. Selain itu dalam kurun waktu pelaksanaannya yang lebih dari 10 tahun Undang – undang tersebut relatif kurang dapat mengakomodir permasalahan lingkungan yang timbul.
Ada beberapa faktor yang mungkin dapat menjelaskan penyebab permasalahan tersebut. Yang  pertama adalah lemahnya sosialisasi perundangan tersebut dibuktikan dengan tingkat pengetahuan masyarakat akan Undang – Undang tersebut relatif rendah. Sebuah survey yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia (IALHI) pada tahun 2009 menunjukkan 15 % masyarakat sebuah kota memahami UU tersebut dengan baik. Sebagian besar lagi, yaitu 25 % mengetahui judul tanpa mengetahui substansi pengaturan dengan baik. Sedangkan yang memprihatinkan 60 % masyarakat kota tersebut tidak mengetahui judul dan substansi pengaturan dengan baik. Faktor kedua adalah lambatnya derivasi peraturan dibawahnya sampai pada tingkat pelaksana dalam hal ini adalah peraturan perundangan di tingkat pemerintah povinsi maupun kab/kota, sehingga pengejawantahan substansi undang – undang tersebut juga terhambat dikarenakan tidak adanya peraturan pelaksanaannya. Faktor berikutnya adalah sosiologis masyarakat Indonesia dimana jumlah masyarakat tradisional lebih besar dari masyarakat rasional yang tentunya mempersulit efektifitas sebuah undang – undang. Belum lagi masalah kemiskinan yang relatif cukup besar sehingga jangankan untuk melaksanakan substansi sebuah perundangan, untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari saja sulit.