Prediksi
tentang tenggelamnya Jakarta tahun 2030 sempat
menjadi topik hangat media massa
beberapa saat lalu. Beberapa analisa dari para ahlipun mencuat seiring prediksi
tersebut. Salah satu pakar dari ITB menyebut bahwa prediksi tersebut didasarkan
pada fakta bahwa di Jakarta ada dua kondisi yang terus berlangsung sampai
sekarang yaitu beban tanah Jakarta terhadap bangunan tinggi sehingga kuantitas
air yang dibutuhkan semakin besar serta eksploitasi air tanah yang berlebihan.
Berdasarkan kenyataan tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa sekali lagi
manusia berperan penting terhadap kerusakan alam yang telah diciptakan dengan
seimbang ini.
Mungkin karena
statusnya sebagai Ibukota negaralah yang membuat ancaman bagi Jakarta
menjadi berita yang menghebohkan, padahal apabila kita telusuri lebih jauh
mungkin hampir seluruh wilayah Indonesia
bahkan mungkin dunia terancam eksistensinya sebagai akibat ketamakan manusia.
Entah sudah
berapa banyak bencana yang terjadi belakangan ini yang disebabkan kerusakan
alam. Perubahan Iklim menjadi salah satu kontributor terhadap bencana yang
terjadi, contohnya banjir hebat di Pakistan bulan Agustus kemarin yang
menyebabkan 1600 jiwa tewas, 20 juta warga kehilangan tempat tinggal, lahan
pertanian rusak, jembatan hancur, jalanan rusak parah, jaringan komunikasi
rusak, dengan kerugian mencapai jutaan dollar. Ada juga gelombang panas di Rusia dengan suhu
mencapai 40 o c yang dipicu oleh kebakaran hutan dan disebabkan
kekeringan terburuk selama beberapa dekade sehingga mengakibatkan kerugian
miliaran dollar.
Cukuplah beberapa
fakta diatas untuk mengoreksi sifat ketamakan dan keserakahan kita dalam mengeksploitasi
alam. Setiap hari hutan gundul bertambah akibat pembalakan liar oleh oknum yang
yang hanya mengejar keuntungan sesaat, padahal kita ketahui bahwa hutan yang
dimiliki bangsa ini ibarat paru – paru dunia. Isu global warming dan
kontribusinya terhadap perubahan iklim bagai sebuah cerita yang hanya menjadi
penghias riset lingkungan tanpa perlu mendapat respon konkrit. Di kota – kota
negeri ini sulit sekali kita jumpai sungai yang bersih dari sampah dan limbah.
Alih fungsi lahan hijau menjadi berbagai jenis bangunan melaju kencang,
sayangnya kurang diimbangi upaya untuk konservasi ruang terbuka hijau. Para pelaku industri juga cukup memberi kontribusi untuk
pencemaran lingkungan akibat tidak dikelolanya limbah yang dihasilkan meski banyak
juga diantara mereka yang telah menggunakan proses produksi yang ramah
lingkungan.
Permasalahan
lingkungan telah menjadi sebuah isu yang universal, oleh karena itu sudah
menjadi tanggungjawab kita bersama untuk ikut memberi kontribusi dalam penyelesaiannya
meski sekecil apapun itu. Berbagai kebijakan/policy
pro lingkungan yang telah disusun oleh pemerintah kiranya harus mendapat respon
yang baik dari kita berupa pentaatan akan kebijakan tersebut. Para
pelaku usaha ditutuntut tidak hanya berpikir profit oriented tanpa diimbangi estimasi dari apa yang akan
ditimbulkan dari upaya – upaya untuk memperoleh keuntungan tersebut. Prinsip
ekonomi tentunya harus dimaknai secara bijak dengan memprioritaskan pada
keberlanjutan sistem. Hal ini juga sesuai dengan amanah konstitusi kita bahwa
pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembagunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Konstitusi kita juga mengatur bahwa
lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia.
Kini saatnya bagi kita untuk tidak saling menyalahkan
berbagai dampak yang timbul akibat kerusakan alam ini, tetapi inilah momen bagi kita untuk ambil
bagian dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Semoga kepedulian
kita untuk menjaga keseimbangan alam tidak hanya ada ketika sudah terjadi
bencant (Dimuat Jawa Pos Radar Blitar 9 Oktober 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar