Jumat, 30 Desember 2011

Jangan Menjadi Makhluk Parasit, PNS


Membaca Jawa Pos Edisi Senin, 4 Juli 2011 pada rubrik Politik ada berita menarik dengan judul 16 Daerah Terancam Bangkut dikarenakan belanja pegawai di atas 70 %.  Sebagai seorang abdi negara penulis tertarik dengan berita  tersebut yang menuliskan bahwa menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) ada sedikitnya 124 daerah yang belanja pegawainya menghabiskan 60 % lebih Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011.
Beberapa waktu yang lalu Kementerian Keuangan mengusulkan wacana pensiun dini dan memberikan kompensasi bagi pegawai negeri sipil (PNS) yang akan memasuki masa pensiun untuk menekan jumlah PNS di masa mendatang. Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia saat ini sudah cukup tinggi dimana saat ini tercatat kurang lebih 4,7 juta jiwa belum termasuk pegawai honorer  yang  bisa memberatkan anggaran pemerintah dalam penyediaan tunjangan gaji serta pensiun dan asuransi.  Kedepan jumlah PNS akan semakin bengkak yang disebabkan pemekaran wilayah ataupun kewajiban pengangkatan pegawai honorer.

Senin, 03 Oktober 2011

Mengenal Konsep Ekonomi Hijau


Persoalan kerusakan  alam sebagai akibat eksploitasi sumberdaya alam yang tidak sebanding dengan upaya perbaikan tentunya bukan hal yang baru dalam daftar masalah pembangunan kita. Walaupun telah menjadi wacana yang mengemuka di  kalangan pemerintah pusat namun konsep pembangunan yang tidak hanya mengejar keuntungan sesaat namun juga memperhatikan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih sulit dijalankan di tingkat daerah,
Apabila kita telisik lebih jauh sebenarnya konsep pembangunan ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara ekploitasi dan upaya perbaikan mutu lingkungan telah diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup sejak tahun 2009 yang lazim dikenal dengan istilah Ekonomi Hijau (Green Economy).
Pada tataran internasional konsep green economy mulai mengemuka sejak adanya Sidang Menteri Lingkungan Hidup Global ke-26 yang diselenggarakan oleh UNEP ( United Nations Environment Programme), otoritas PBB di bidang lingkungan hidup pada bulan Februari 2011. Pada sidang tersebut Menteri Negara Lingkungan Hidup Prof. Dr. Gusti Muhammad Hatta menyuarakan konsep green economy dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan upaya pengentasan kemiskinan,
Definisi sederhana dari Ekonomi Hijau adalah model pembangunan ekonomi berbasiskan pengetahuan terhadap keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan yang bertujuan untuk menjawab saling ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat aktivitas ekonomi termasuk perubahan iklim dan pamanasan global.
Konsep ekonomi hijau dilaksanakan untuk mendukung pembangunan nasional yang bersifat pro-lapangan kerja, pro-pertumbuhan dan pro-lingkungan. Konsep pembangunan yang pro lapangan kerja dan pro pertumbuhan tentunya telah lama didengungkan yang lazim kita kenal dengan istilah padat karya dan penciptaan iklim investasi yang kondusif. Konsep ini telah lama menjadi prioritas dalam menjalankan roda pembangunan. Berbeda dengan keduanya konsep pro lingkungan baru menjadi prioritas ketika kita telah merasakan berbagai dampak dari ketamakan  eksploitasi alam, Sampai sekarang rupanya konsep ini masih jauh panggang dari  api dengan kata lain masih jauh antara kenyataan dan konsep yang direncanakan.
Paradigma pembangunan dengan prioritas keuntungan jangka pendek rupanya cukup mengakar kuat di negeri ini, bayangkan saja hampir seluruh kota di negeri ini tumbuh tidak sesuai dengan perencanaan tata ruang yang seharusnya, ribuan hektar hutan rusak dikarenakan eksploitasi tambang yang kurang memperhatikan pengembalian fungsi hutan ketika telah selesai beroperasi, belum lagi hak konsensi hutan yang tidak digunakan secara bertanggungjawab oleh sebagian orang, banyak industri baik skala rumah tangga sampai perusahaan besar yang kurang memperhatikan pengolahan limbah hasil produksi sehingga lagi lagi lingkungan mendapat beban pencemaran yang tentunya akan menurunkan kualitas lingkungan.

Rabu, 08 Juni 2011

Quo Vadis Pengelolaan Lingkungan hidup ?


Undang – Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 mengamanatkan keseimbangan hak dan kewajiban setiap warga Negara dalam masalah lingkungan hidup. Di satu sisi lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia, sebaliknya setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran lingkungan.
Secara teori, konsep tersebut sangatlah ideal dalam menciptakan lingkungan hidup yang sehat dan lestari, tetapi pada kenyataannya sungguh jauh panggang dari api. Permasalahan lingkungan hidup makin hari kian kompleks karena tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan hidup terkait dengan semua aspek kehidupan baik ekonomi, sosial bahkan politik.
Apabila kita cermati satu demi satu permasalahan tersebut maka akan kita dapati betapa ruwetnya pengelolaan lingkungan hidup di negeri ini. Derivasi dari Undang – Undang PPLH tersebut berjalan relatif lambat sehingga sering membuat kesulitan bagi daerah untuk dapat membuat kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.
Selain itu pembangunan berbasis eksploitasi sumber daya alam kini seolah menjadi tren dalam konsep pembangunan di negeri ini. Contoh konkritnya adalah  kebijakan dari Kementerian ESDM untuk meningkatkan kapasitas batubara di Kalimantan. Dengan alasan kesulitan mendapatkan energi berbasis minyak karena lifting yang tidak mencukupi, akhirnya batubaralah yang menjadi sasaran untuk dikeruk lebih besar. Hal ini tentu menjadi sebuah bencana apabila tidak diimbangi dengan langkah pengelolaan dan pemantuan lingkungan  dalam kegiatan pertambangan sampai upaya recovery lahan bekas pertambangan.

Kamis, 07 April 2011

Kampung Iklim


Perubahan iklim yang salah satunya disebabkan oleh pemanasan global semakin terasa dampaknya. Yang paling mencolok adalah musim penghujan dan kemarau yang tidak dapat diprediksi, bahkan sepanjang tahun 2010 hampir sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim hujan sepanjang tahun yang mengakibatkan banyak terjadi banjir yang membawa kerugian baik jiwa maupun materi. Selain itu  juga ancaman kekurangan ketersediaan pangan dan air bersih akibat kegagalan panen dan rusaknya sumber – sumber air. Ekses dari kekurangan pangan dan air bersih adalah menurunnya kualitas kesehatan masyarakat terutama ditinjau dari status gizi dan penyakit berbasis lingkungan. Berdasarkan hal tersebut tentunya perlu dilakukan peninjauan ulang berbagai persoalan besar seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, perencanaan tata ruang, ketahanan pangan, pengendalian penyakit, perencanaan perkotaan dalam  perspektif perubahan iklim.
Salah satu teknik mitigasi dan adaptasi perubahan iklim adalah mempersiapkan daerah untuk menempuh langkah – langkah terbaik sebagai upaya untuk meminimalisir dampak perubahan iklim yang dikenal dengan program kampung iklim (climate village). Program ini digagas oleh Kementerian Lingkungan Hidup sejak tahun 2010, namun dalam tataran implementasi di daerah rupanya kurang begitu mendapat sambutan yang diharapkan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat masalah perubahan iklim memang terkesan hanya ramai dibicarakan pada tataran konferensi internasional ataupun sekedar kebijakan pada tingkat Kementerian.
Gagasan awal dari konsep kampung iklim adalah di mana sebuah kampung ( belum ada penetapan batasan kewilayahan apakah sebatas kelurahan/desa atau kecamatan ), masyarakatnya secara kritis dalam segala tindakan baik teknis maupun non teknis, berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengurangan pemanasan global sebagai salah satu penyumbang terbesar perubahan iklim. Beberapa manfaat  dari program ini  antara lain  untuk membangun gerakan pengurangan emisi dimulai dari kampung.  Dengan program ini diharapkan target yang telah ditetapkan oleh Presiden SBY untuk mengurangi emisi nasional sebesar 26 % pada tahun 2020 dapat terwujud. Selain itu juga untuk memanfaatkan secara optimal sumber daya alam sebagai sumber energi yang terjangkau secara ekonomi dan berkelanjutan, misalnya pemanfaatan limbah yang selama ini dibuang menjadi sumber enrgi

Rabu, 09 Februari 2011

Sanitasi Dalam Perspektif Pemberdayaan


Sejak terjadi perubahan paradigma pembangunan kesehatan dari represif kuratif menjadi promotif preventif atau dengan kata lain berubah dari menangani penyakit menuju pencegahan penyakit, masalah sanitasi menjadi topik penanganan yang serius. Hal ini dikarenakan kualitas sanitasi berperan dalam upaya pencegahan penyakit. Berbagai definisi muncul dari istilah sanitasi diantaranya adalah upaya pencegahan penyakit menular dengan memutus mata rantai dari sumbernya (Azwar,1990) . Dalam hal ini tentunya menyangkut bagaimana pembuangan limbah baik padat maupun cair dari rumah tangga serta penyediaan air bersih yang layak. Sampai saat ini tampaknya pembangunan sanitasi belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan terkait target akses fasilitas sanitasi dasar bagi masyarakat maupun kualitas sanitasi lingkungan.

Fakta yang harus diakui bahwa ada korelasi yang tidak proporsional antara kebutuhan akan sarana sanitasi yang layak dengan alokasi anggaran dari pemerintah. Pada umumnya alokasi untuk pembangunan sanitasi kurang dari 1 % dibanding APBD daerah. Melihat kondisi tersebut tentunya diperlukan langkah – langkah alternatif untuk dapat mencapai kondisi sanitasi yang layak.

Apabila kita mengacu pada konsep baru pembangunan yaitu people centered, parcipatory, empowering and sustainable ( Chamber 1995 dalam Kartasasmita 1996), ada salah hal yang mungkin masih belum dioptimalkan yaitu empowering atau pemberdayaan. Berusaha mengoptimalkan potensi yang dimiliki untuk memecahkan permasalahan masyarakat itu sendiri, kiranya merupakan langkah konkrit yang cukup efektif.

Salah contoh yang dapat kita lihat dari aplikasi konsep pemberdayaan tersebut  adalah program CLTS ( Community Led Total Sanitation) atau terjemah bebasnya Sanitasi total yang dipimpin oleh masyarakat. Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan yang intinya menekankan bukan pada pemberian subsidi secara cuma – cuma kepada masyarakat dengan fasilitas sanitasi yang buruk melainkan pemberian stimulus yang dapat membuat masyarakat tersebut mampu menangani masalah sanitasinya. Hasil dari pelaksanaan program ini cukup bisa memberi kontribusi dalam hal peningkatan akses masyarakat akan sarana sanitasi khususnya jamban. Salah satu daerah yang cukup berhasil melakukan prinsip pemberdayaan untuk peningkatan kepemilikan jamban keluarga adalah Kabupaten Trenggalek. Pada daerah ini peningkatan jumlah wilayah yang telah mencapai status Open Defecation Free (ODF) cukup signifikan bahkan menargetkan seluruh wilayahnya berstatus ODF maksimal akhir tahun 2012. ODF adalah kondisi yang menggambarkan terbebasnya wilayah tersebut dari segala bentuk buang hajat di sembarang tempat.