Permasalahan lingkungan hidup mulai mendapatkan
perhatian dari pemerintah disamping masalah pendidikan dan kesehatan. Hal
tersebut tidak lepas dari berbagai permasalahan yang timbul dari pencemaran
lingkungan baik air, udara maupun tanah. Sebagai bukti perhatian dari
Pemerintah akan permasalahan lingkungan adalah dengan disahkannya Undang –
undang Lingkungan yang baru yaitu UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan (PPLH). Secara substansi ada perbedaan yang cukup
signifikan antara Undang – undang ini dibanding sebelumnya yaitu Undang –
undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup terutama dari
aspek penegakan hukum yang lebih tegas dan jauh lebih berat ancaman hukumannya.
Disamping itu Undang – undang PPLH konon relatif lebih ilmiah karena disusun oleh para pakar
lingkungan hidup dan komprehensif karena memadukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan dari hulu sampai hilir.
Undang – undang lingkungan terdahulu yaitu UU
Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup relatif kurang
menggigit atau terkesan melempem apabila ditinjau dari fungsinya sebagai payung
hukum pengelolaan lingkungan. Selain itu dalam kurun waktu pelaksanaannya yang
lebih dari 10 tahun Undang – undang tersebut relatif kurang dapat mengakomodir
permasalahan lingkungan yang timbul.
Ada beberapa faktor yang mungkin dapat menjelaskan
penyebab permasalahan tersebut. Yang
pertama adalah lemahnya sosialisasi perundangan tersebut dibuktikan
dengan tingkat pengetahuan masyarakat akan Undang – Undang tersebut relatif
rendah. Sebuah survey yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Lingkungan Hidup
Indonesia (IALHI) pada tahun 2009 menunjukkan 15 % masyarakat sebuah kota
memahami UU tersebut dengan baik. Sebagian besar lagi, yaitu 25 % mengetahui
judul tanpa mengetahui substansi pengaturan dengan baik. Sedangkan yang
memprihatinkan 60 % masyarakat kota tersebut tidak mengetahui judul dan
substansi pengaturan dengan baik. Faktor kedua adalah lambatnya derivasi peraturan
dibawahnya sampai pada tingkat pelaksana dalam hal ini adalah peraturan
perundangan di tingkat pemerintah povinsi maupun kab/kota, sehingga
pengejawantahan substansi undang – undang tersebut juga terhambat dikarenakan
tidak adanya peraturan pelaksanaannya. Faktor berikutnya adalah sosiologis
masyarakat Indonesia dimana jumlah masyarakat tradisional lebih besar dari
masyarakat rasional yang tentunya mempersulit efektifitas sebuah undang –
undang. Belum lagi masalah kemiskinan yang relatif cukup besar sehingga
jangankan untuk melaksanakan substansi sebuah perundangan, untuk mencukupi
kebutuhan sehari – hari saja sulit.
Selain upaya diatas perlu
juga diperhatikan masalah efektifitas penegakan hukum. Efektifitas penegakan
hukum menurut seorang pakar hukum Lawrence Friedman dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu struktur hukum yang mendukung (structure
of law), substansi peraturan (content
of law) dan kultur hukum (culture of
law). Ketiga faktor tersebut harus mampu bersimbiosis dengan baik untuk
menghasilkan penegakan hukum yang efektif. Substansi dari Undang – undang PPLH
yang telah disusun sedemikian rupa dan diklaim setara dengan Undang – undang
lingkungan di negara maju seperti Environmental Management Act (1999) yang
dimiliki Bangsa Belanda maupun Kankyo Kihon Ho (1993) yang dimiliki Bangsa
Jepang memerlukan struktur hukum dan budaya hukum yang kuat dari masyarakat
Indonesia.
Hal yang tidak kalah
pentingnya adalah penyiapan instrumen – instrumen yang disyaratkan oleh UU PPLH
diantaranya, Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) baik untuk skala nasional, Pemerintah
Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota. RPPLH berfungsi lebih kepada
perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidu.p RPPLH untuk skala
nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) sedangkan untuk Pemerintah
Daerah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda). KLHS wajib dilaksanakan oleh
Pemerintah pusat maupun daerah dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM). KLHS adalah salah satu instrumen pencegahan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan.
Pada akhirnya kita
berharap semoga Undang – Undang 32 Tahun 2009 ini mampu menjadi garda terdepan
dalam upaya Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk mewujudkan
Indonesia yang lebih baik.
(Dimuat Jawa Pos Radar Blitar 10 April 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar