Rabu, 10 Maret 2010

Kota Blitar Tanggap dan Peduli Perubahan Iklim


Fenomena perubahan iklim (climate change) merupakan isu global yang sudah mendunia. Hampir seluruh bagian dunia mengalami kondisi tersebut termasuk di Indonesia. Apabila dikaji lebih jauh aktor utama penyebabnya adalah juga karena ulah manusia yang tidak bijak dalam mengelola lingkungan. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah pemanasan global (global warming) yang diakibatkan meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Radiasi matahari yang masuk ke bumi seharusnya sebagian dipantulkan lagi menuju angkasa luar. akan tetapi pantulan tersebut dihalangi oleh Gas Rumah Kaca yang ada di atmosfer . Fenomena ini lazim dikenal sebagai Efek Rumah Kaca (ERK). Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca menyebabkan akumulasi panas di atmosfer yang mempengaruhi sistem iklim global. Gas Rumah Kaca sendiri disebabkan oleh aktivitas manusia yang terbagi menjadi paling tidak enam jenis gas yaitu  Karbondioksida (CO2) yang banyak dihasilkan dari buangan kendaraan bermotor maupun cerobong industri, Gas methan (CH4) yang banyak dihasilkan dari sampah,  Nitrous oksida (N2O) yang berasal dari kegiatan pertanian/pemupukan, transportasi dan industri, Hidrofluorokarbon (HFCs) yang berasal dari sistem pendingin, foam, pelarut dan pemadam kebakaran, Perfluorokarbon (PFCs) dan Sulfurheksafluorida (SF6)  yang berasal dari proses industri Dari keenam gas ini data penelitian yang sudah ada menunjukkan CH4 mempunyai global warming potential (potensi penyebab pemanasan global) 21 kali lebih besar daripada CO2.
Berdasarkan kondisi tersebut ada dua hal yang telah disepakati sebagai upaya penanggulangan perubahan iklim yaitu mitigasi (pencegahan) dan adaptasi (penyesuaian). Mitigasi dilakukan sebagai upaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sedangkan adaptasi bertujuan meningkatkan kemampuan adaptif manusia sebagai akibat perubahan lingkungan atau ekosistem karena perubahan iklim. Apabila tidak ada upaya untuk menurunkan laju emisi Gas Rumah Kaca (Mitigasi) maka dampak perubahan iklim 20-30 tahun mendatang akan sangat sulit dikendalikan dan kebutuhan adaptasi akan membutuhkan biaya yang sangat besar (Kemal Dervis, 2007).
Berangkat dari kondisi inilah Kota Blitar  merespon perubahan iklim dengan langkah – langkah konkrit sebagai amanat dari UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang salah satu isinya memuat tentang perubahan iklim dan PP Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang salah satu pelimpahan urusan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota adalah tentang urusan Lingkungan Hidup serta Visi Kota Blitar yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 – 2025 yaitu mewujudkan Kota Blitar Sebagai Kota Pariwisata, Pusat Pelayanan Perdagangan Dan Jasa Yang Berwawasan Kebangsaan Dan Lingkungan Hidup.
Sebagai langkah awal untuk lebih fokus terhadap penanganan masalah perubahan iklim, Kota Blitar telah mereplikasi program Jejaring Kota - Kota Asia Terhadap Perubahan Iklim ( Asian Cities Climate Change Resilience Network/ACCCRN) dimana untuk Indonesia yang telah menjadi pilot project adalah Semarang dan Bandar Lampung. Pemilihan program ini dikarenakan tujuan ACCCRN yaitu untuk memperoleh perhatian, pendanaan serta kegiatan seputar perubahan iklim guna membangun ketahanan masyarakat miskin dan rentan di perkotaan Indonesia selaras dengan nafas pembangunan di Kota Blitar yang pro masyarakat miskin dapat dibuktikan dengan sederet program diantaranya Gerakan Perang Melawan Kemiskinan (GPMK) sebagai amanat deklarasi Perang Melawan Kemiskinan yang telah diikrarkan pada tahun 2006. Program ini bukan hanya sekedar jargon tetapi juga sedikit banyak telah mampu diimplementasikan dalam kegiatan nyata dalam bentuk bantuan dan stimulant kepada masyarakat miskin. Selain itu juga program sanitasi yang mengutamakan masyarakat miskin ( pro poor sanitation) yang diwujudkan dalam bentuk stimulan jamban keluarga, komposter individual dan sebagainya. Program pembangunan pro masyarakat miskin di Kota Blitar juga telah menunjukkan hasil paling tidak ditinjau dari segi penurunan jumlah warga miskin dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dari data statistik tercatat pada tahun 2006 IPM Kota Blitar adalah 73,40 dan jumlah warga miskin sebanyak 16.620 jiwa, sedangkan pada tahun 2008 IPM meningkat menjadi 74,87 serta jumlah warga miskin menurun menjadi 13.182 jiwa ( Sumber BPS Kota Blitar).
  Replikasi program ACCCRN tersebut diwujudkan dengan penyelenggaraan Dialog Pembelajaran Bersama ( Shared Learning Dialogue) ketahanan kota terhadap perubahan iklim beberapa waktu yang lalu. Dialog ini melibatkan Pemerintah Kota yang diwakili oleh SKPD terkait, Sektor swasta yang diwakili oleh perwakilan industri tahu, peternak sapi dan pengusaha hotel dan restoran, Akademisi yang diwakili oleh beberapa perguruan tinggi di kota Blitar dan sekolah yang dipersiapkan untuk program adiwiyata, LSM lingkungan, Wakil Tokoh Masyarakat yang melibatkan kelompok tani dan himpunan pemakai air. Dengan kehadiran kelompok - kelompok tersebut diharapkan mampu menyumbangkan input dalam proses vulnerability assessment  (penilaian tingkat kerentanan) Kota Blitar terhadap perubahan Iklim. 
Dalam dialog ini peserta mendiskusikan berbagai hal terkait perubahan iklim yang dapat dirumuskan paling tidak dalam 3 hal yaitu : 1) Sektor dan wilayah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim di kota Blitar, 2) Langkah – langkah adaptasi untuk mengahadapi perubahan iklim tersebut dan 3) Kebijakan pemerintah yang diperlukan untuk menghadapi perubahan iklim tersebut. Dari hasil diskusi ditarik kesimpulan bahwa ada tiga hal utama dampak dari perubahan iklim yang telah terjadi di Kota Blitar diantaranya : 1) Pergeseran musim yang dampaknya sangat dirasakan oleh para petani terkait dengan kesulitan memulai musim tanam, 2) Berkurangnya mata air yang berimbas pada ancaman ketersediaan air bagi warga kota Blitar dan 3) Meningkatnya prevalensi penyakit tertentu sebagai dampak perubahan iklim seperti ISPA, diare dan sebagainya.
Sebagai tindak lanjut dari hasil dialog ini nantinya diharapkan dapat ditelaah lebih jauh dalam kajian kerentanan masyarakat kota terutama masyarakat miskin terhadap perubahan iklim. Yang perlu diingat adalah bahwa paradigma pembangunan adalah sistem partisipatif dengan tetap mengutamakan partisipasi aktif masyarakat di dalamnya. 
(Dimuat Jawa Pos Radar Blitar 10 Maret 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar