Fenomena
perubahan iklim (climate change)
merupakan isu global yang sudah mendunia. Hampir seluruh bagian dunia mengalami
kondisi tersebut termasuk di Indonesia. Apabila dikaji lebih jauh aktor utama
penyebabnya adalah juga karena ulah manusia yang tidak bijak dalam mengelola
lingkungan. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa penyebab utama perubahan
iklim adalah pemanasan global (global warming) yang diakibatkan meningkatnya
gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Radiasi matahari yang masuk ke bumi
seharusnya sebagian dipantulkan lagi menuju angkasa luar. akan tetapi pantulan
tersebut dihalangi oleh Gas Rumah Kaca yang ada di atmosfer . Fenomena ini
lazim dikenal sebagai Efek Rumah Kaca (ERK). Peningkatan konsentrasi Gas Rumah
Kaca menyebabkan akumulasi panas di atmosfer yang mempengaruhi sistem iklim
global. Gas Rumah Kaca sendiri disebabkan oleh aktivitas manusia yang terbagi
menjadi paling tidak enam jenis gas yaitu
Karbondioksida (CO2) yang banyak dihasilkan dari buangan
kendaraan bermotor maupun cerobong industri, Gas methan (CH4) yang
banyak dihasilkan dari sampah, Nitrous
oksida (N2O) yang berasal dari kegiatan pertanian/pemupukan,
transportasi dan industri, Hidrofluorokarbon (HFCs) yang berasal dari sistem
pendingin, foam, pelarut dan pemadam kebakaran, Perfluorokarbon (PFCs) dan
Sulfurheksafluorida (SF6) yang berasal dari proses industri Dari keenam
gas ini data penelitian yang sudah ada menunjukkan CH4 mempunyai global warming potential (potensi penyebab
pemanasan global) 21 kali lebih besar daripada CO2.
Berdasarkan
kondisi tersebut ada dua hal yang telah disepakati sebagai upaya penanggulangan
perubahan iklim yaitu mitigasi (pencegahan) dan adaptasi (penyesuaian).
Mitigasi dilakukan sebagai upaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sedangkan adaptasi
bertujuan meningkatkan kemampuan adaptif manusia sebagai akibat perubahan
lingkungan atau ekosistem karena perubahan iklim. Apabila tidak ada upaya untuk
menurunkan laju emisi Gas Rumah Kaca (Mitigasi) maka dampak perubahan iklim
20-30 tahun mendatang akan sangat sulit dikendalikan dan kebutuhan adaptasi
akan membutuhkan biaya yang sangat besar (Kemal Dervis, 2007).
Sebagai
langkah awal untuk lebih fokus terhadap penanganan masalah perubahan iklim, Kota Blitar telah mereplikasi program Jejaring Kota - Kota
Asia Terhadap Perubahan Iklim ( Asian
Cities Climate Change Resilience Network/ACCCRN) dimana untuk Indonesia yang telah menjadi pilot project
adalah Semarang
dan Bandar Lampung. Pemilihan program ini
dikarenakan tujuan ACCCRN yaitu untuk memperoleh perhatian, pendanaan serta
kegiatan seputar perubahan iklim guna membangun ketahanan masyarakat miskin dan
rentan di perkotaan Indonesia selaras dengan nafas pembangunan di Kota Blitar
yang pro masyarakat miskin dapat dibuktikan dengan sederet program diantaranya
Gerakan Perang Melawan Kemiskinan (GPMK) sebagai amanat deklarasi Perang
Melawan Kemiskinan yang telah diikrarkan pada tahun 2006. Program ini bukan
hanya sekedar jargon tetapi juga sedikit banyak telah mampu diimplementasikan
dalam kegiatan nyata dalam bentuk bantuan dan stimulant kepada masyarakat
miskin. Selain itu juga program sanitasi yang mengutamakan masyarakat miskin ( pro poor sanitation) yang diwujudkan
dalam bentuk stimulan jamban keluarga, komposter individual dan sebagainya.
Program pembangunan pro masyarakat miskin di Kota Blitar juga telah menunjukkan
hasil paling tidak ditinjau dari segi penurunan jumlah warga miskin dan
peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dari data statistik tercatat pada
tahun 2006 IPM Kota Blitar adalah 73,40 dan jumlah warga miskin sebanyak 16.620
jiwa, sedangkan pada tahun 2008 IPM meningkat menjadi 74,87 serta jumlah warga
miskin menurun menjadi 13.182 jiwa ( Sumber BPS Kota Blitar).
Replikasi program ACCCRN tersebut diwujudkan
dengan penyelenggaraan Dialog Pembelajaran Bersama ( Shared Learning Dialogue) ketahanan kota terhadap perubahan iklim beberapa waktu
yang lalu. Dialog ini melibatkan Pemerintah Kota yang diwakili oleh SKPD
terkait, Sektor swasta yang diwakili oleh perwakilan industri tahu, peternak
sapi dan pengusaha hotel dan restoran, Akademisi yang diwakili oleh beberapa
perguruan tinggi di kota Blitar dan sekolah yang dipersiapkan untuk program
adiwiyata, LSM lingkungan, Wakil Tokoh Masyarakat yang melibatkan kelompok tani
dan himpunan pemakai air. Dengan kehadiran kelompok - kelompok tersebut
diharapkan mampu menyumbangkan input dalam proses vulnerability assessment
(penilaian tingkat kerentanan) Kota Blitar terhadap perubahan
Iklim.
Dalam dialog
ini peserta mendiskusikan berbagai hal terkait perubahan iklim yang dapat
dirumuskan paling tidak dalam 3 hal yaitu : 1) Sektor dan wilayah yang paling
rentan terhadap dampak perubahan iklim di kota
Blitar, 2) Langkah – langkah adaptasi untuk mengahadapi perubahan iklim tersebut
dan 3) Kebijakan pemerintah yang diperlukan untuk menghadapi perubahan iklim
tersebut. Dari hasil diskusi ditarik kesimpulan bahwa ada tiga hal utama dampak
dari perubahan iklim yang telah terjadi di Kota Blitar diantaranya : 1)
Pergeseran musim yang dampaknya sangat dirasakan oleh para petani terkait
dengan kesulitan memulai musim tanam, 2) Berkurangnya mata air yang berimbas
pada ancaman ketersediaan air bagi warga kota Blitar dan 3) Meningkatnya
prevalensi penyakit tertentu sebagai dampak perubahan iklim seperti ISPA, diare
dan sebagainya.
Sebagai tindak
lanjut dari hasil dialog ini nantinya diharapkan dapat ditelaah lebih jauh
dalam kajian kerentanan masyarakat kota
terutama masyarakat miskin terhadap perubahan iklim. Yang perlu diingat adalah
bahwa paradigma pembangunan adalah sistem partisipatif dengan tetap
mengutamakan partisipasi aktif masyarakat di dalamnya.
(Dimuat Jawa Pos Radar Blitar 10 Maret 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar