Jumat, 26 November 2010

Dinamika Perencanaan Kota


Pada tanggal 24 Nopember 2010 kemarin, ada tulisan menarik di rubrik ini dari saudara Gigih Mardana (GM) terkait perencanaan pembangunan dengan judul Desain Pembangunan Berdasar Riset Opini. Dalam tulisan tersebut GM menawarkan gagasan baru kepada publik yaitu perencanaan pembangunan bersarkan riset opini publik yang dipandang memiliki standar ilmiah.
            Sebuah wacana segar yang diyakini mampu menyempurnakan sistem yang ada selama ini. Gagasan GM ini sangat patut untuk diapresiasi sebagai terobosan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang berbasis masyarakat. Penulis hanya akan berusaha menambahkan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian serius, karena selama ini menjadi masalah dalam tataran perencanaan. Akibat hal – hal tersebut tujuan pembangunan kita belum dapat tercapai sesuai yang diharapkan. Sebatas pengamatan penulis adah tiga masalah yang perlu mendapat penanganan serius yaitu :
            Pertama, Kurangnya sinergi antara perencanaan pembangunan (development plan) dan perencanaan penataan ruang (spatial plan). Sebagaimana kita kita ketahui bahwa selama ini di Indonesia ada dua jenis perencanaan yang diakui pemerintah dan berdasar hukum yaitu perencanaan pembangunan  yang memuat mengenai arahan, kebijakan dan strategi pembangunan dan diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, serta perencanaan penataan ruang  yang memuat arahan, kebijakan dan strategi penataan ruang dan diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang.
            Secara teori seharusnya kedua jenis perencanaan ini harus dapat berjalan secara sinergi, namun dalam prakteknya umumnya keduanya berdiri sendiri – sendiri sehingga menimbulkan banyak permasalahan. Dalam konteks perkotaan masalah yang paling dominan tentunya adalah arah pembangunan kota yang tidak jelas dan mengarah pada pada pengembangan kota yang tidak terkendali (urban sprawl).
          
  Pada dasarnya substansi dari dua bentuk perencanaan ini harus mampu menciptakan pola yang tidak kontradiktif atau dengan bahasa lain saling mendukung. Sebaik apapun rencana pembangunan tanpa menyesuaikan dengan rencana penataan ruang tidak akan bisa menjamin sistem pembangunan yang berkelanjutan (sustainable) begitu juga sebaliknya.
            Kedua, masih tingginya ego sektoral di tingkat Satuan Kerja, yang diantaranya menyebabkan Satuan Kerja kurang mengacu pada strategi pengembangan kota sehingga indikator keberhasilan yang digunakan bersifat sektoral. Hal seperti ini akan menyebabkan pola pembangunan yang parsial dan tidak terintegrasi pada skala kota. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apabila pola pembangunan bersifat parsial. tentunya kurang memberi kontribusi positif untuk mengatasi permasalahan kota dikarenakan visi dan misi pembangunan kota kurang diacu oleh pemangku kepentingan. Pola pembangunan yang parsial ini semakin didukung oleh pembiayaan pembangunan dari sumber – sumber yang mempunyai karakteristik berbeda – beda. Hal ini menyebabkan sasaran pembangunan mengacu pada kemauan sumber dana dan tidak berdasar pada kebutuhan kota.
            Ketiga, masih belum optimalnya proses verifikasi dari pelaksana program terkait hasil usulan dari bawah ( bottom up) mengenai program – program pembangunan. Hal ini menjadi masalah dikarenakan kurang tepatnya sasaran pembangunan yang seharusnya. Terkadang usulan – usulam pembangunan kurang mendapat filter yang baik sehingga tidak dapat dilakukan penentuan skala prioritas yang akurat. Proses ini menjadi penting dikarenakan permasalahan kota khususnya yang relatif kompleks, sedangkan umumnya pagu anggaran sangat terbatas untuk menyelesaikan seluruh permasalahan tersebut.
            Dari ketiga permasalahan tersebut kiranya perlu segera dilakukan langkah – langkah konkrit untuk mengatasinya. Proses perencanaan baik perencanaan pembangunan maupun penataan ruang perlu disetting dengan baik sehingga substansi keduanya saling mengacu. Pada tataran implementasi perlu adanya konsistensi pelaksanaan kedua perencanaan tersebut
            Pada tingkat Satuan Kerja selaku pelaksana program sangat diharapkan menanggalkan ego sektoral dan lebih mengacu pada strategi pengembangan kota dalam penyusunan rencana pembangunan baik jangka panjang, menengah maupun tahunan. Selain itu perlu ditingkatkan koordinasi antar satuan kerja dalam tataran perencanaan yang dapat difasilitasi secara lebih optimal oleh institusi yang diberi mandat sebagai pusat perencana di tingkat kota.
            Selain itu Satuan Kerja juga harus melakukan verifikasi yang akurat terkait dengan usulan – usulan pembangunan, agar sasaran dari pembangunan memang sesuai dengan peruntukannya. Dalam hal ini juga memerlukan bantuan dari masyarakat untuk dapat menyampaikan data – data yang valid dan masing – masing berpikir dalam skala makro untuk kepentingan kota.
            Perencanaan sebagai bagian penting dari unsur penentu keberhasilan pembangunan juga tetap harus konsisten untuk memenuhi beberapa kriteria yang lazim dikenal dengan istilah SMART yaitu Specific artinya perencanaan harus jelas maksud maupun ruang lingkupnya tidak terlalu melebar dan terlalu idealis. Measurable artinya program kerja atau rencana harus dapat diukur tingkat keberhasilannya. Achievable artinya dapat dicapai jadi bukan angan-angan. Realistic artinya sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang ada, dengan kata lain tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit tetapi tetap ada tantangan. Time artinya ada batas waktu yang jelas baik mingguan, bulanan, triwulan, semesteran atau tahunan sehingga mudah dinilai dan dievaluasi.
            Semoga perencanaan kota kedepan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan seluruh stakeholder mampu menempatkan diri sesuai fungsi masing – masing. Yang tidak kalah penting setiap unsur perencana harus mengacu pada strategi pengembangan kota guna mendapatkan arah pembangunan yang jelas .
 (Dimuat Jawa Pos Radar Blitar 26 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar