Pada tanggal 24 Nopember 2010
kemarin, ada tulisan menarik di rubrik ini dari saudara Gigih Mardana (GM)
terkait perencanaan pembangunan dengan judul Desain Pembangunan Berdasar Riset Opini.
Dalam tulisan tersebut GM menawarkan gagasan baru kepada publik yaitu
perencanaan pembangunan bersarkan riset opini publik yang dipandang memiliki
standar ilmiah.
Sebuah
wacana segar yang diyakini mampu menyempurnakan sistem yang ada selama ini.
Gagasan GM ini sangat patut untuk diapresiasi sebagai terobosan dalam upaya
mewujudkan pemerintahan yang berbasis masyarakat. Penulis hanya akan berusaha
menambahkan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian
serius, karena selama ini menjadi masalah dalam tataran perencanaan. Akibat
hal – hal tersebut tujuan pembangunan kita belum dapat tercapai sesuai yang
diharapkan. Sebatas pengamatan penulis adah tiga masalah yang perlu mendapat
penanganan serius yaitu :
Pertama,
Kurangnya sinergi antara perencanaan pembangunan (development plan) dan perencanaan penataan ruang (spatial plan). Sebagaimana kita kita
ketahui bahwa selama ini di Indonesia ada dua jenis perencanaan yang diakui
pemerintah dan berdasar hukum yaitu perencanaan pembangunan yang memuat mengenai arahan, kebijakan dan
strategi pembangunan dan diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, serta perencanaan penataan ruang yang memuat arahan, kebijakan dan strategi
penataan ruang dan diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang.
Secara
teori seharusnya kedua jenis perencanaan ini harus dapat berjalan secara
sinergi, namun dalam prakteknya umumnya keduanya berdiri sendiri – sendiri
sehingga menimbulkan banyak permasalahan. Dalam konteks perkotaan masalah yang
paling dominan tentunya adalah arah pembangunan kota
yang tidak jelas dan mengarah pada pada pengembangan kota yang tidak terkendali (urban sprawl).
Kedua,
masih tingginya ego sektoral di
tingkat Satuan Kerja, yang diantaranya menyebabkan Satuan Kerja kurang mengacu
pada strategi pengembangan kota
sehingga indikator keberhasilan yang digunakan bersifat sektoral. Hal seperti
ini akan menyebabkan pola pembangunan yang parsial dan tidak terintegrasi pada
skala kota.
Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apabila pola pembangunan bersifat
parsial. tentunya kurang memberi kontribusi positif untuk mengatasi
permasalahan kota dikarenakan visi dan misi
pembangunan kota
kurang diacu oleh pemangku kepentingan. Pola pembangunan yang parsial ini
semakin didukung oleh pembiayaan pembangunan dari sumber – sumber yang
mempunyai karakteristik berbeda – beda. Hal ini menyebabkan sasaran pembangunan
mengacu pada kemauan sumber dana dan tidak berdasar pada kebutuhan kota.
Ketiga,
masih belum optimalnya proses verifikasi dari pelaksana program terkait hasil
usulan dari bawah ( bottom up)
mengenai program – program pembangunan. Hal ini menjadi masalah dikarenakan
kurang tepatnya sasaran pembangunan yang seharusnya. Terkadang usulan – usulam
pembangunan kurang mendapat filter yang baik sehingga tidak dapat dilakukan
penentuan skala prioritas yang akurat. Proses ini menjadi penting dikarenakan
permasalahan kota
khususnya yang relatif kompleks, sedangkan umumnya pagu anggaran sangat
terbatas untuk menyelesaikan seluruh permasalahan tersebut.
Dari
ketiga permasalahan tersebut kiranya perlu segera dilakukan langkah – langkah
konkrit untuk mengatasinya. Proses perencanaan baik perencanaan pembangunan
maupun penataan ruang perlu disetting dengan baik sehingga substansi keduanya
saling mengacu. Pada tataran implementasi perlu adanya konsistensi pelaksanaan
kedua perencanaan tersebut
Pada
tingkat Satuan Kerja selaku pelaksana program sangat diharapkan menanggalkan
ego sektoral dan lebih mengacu pada strategi pengembangan kota dalam penyusunan rencana pembangunan baik
jangka panjang, menengah maupun tahunan. Selain itu perlu ditingkatkan
koordinasi antar satuan kerja dalam tataran perencanaan yang dapat difasilitasi
secara lebih optimal oleh institusi yang diberi mandat sebagai pusat perencana
di tingkat kota.
Selain
itu Satuan Kerja juga harus melakukan verifikasi yang akurat terkait dengan
usulan – usulan pembangunan, agar sasaran dari pembangunan memang sesuai dengan
peruntukannya. Dalam hal ini juga memerlukan bantuan dari masyarakat untuk
dapat menyampaikan data – data yang valid dan masing – masing berpikir dalam
skala makro untuk kepentingan kota.
Perencanaan
sebagai bagian penting dari unsur penentu keberhasilan pembangunan juga tetap
harus konsisten untuk memenuhi beberapa kriteria yang lazim dikenal dengan
istilah SMART yaitu Specific artinya perencanaan harus
jelas maksud maupun ruang lingkupnya tidak terlalu melebar dan terlalu idealis.
Measurable artinya program kerja atau rencana harus dapat diukur
tingkat keberhasilannya. Achievable artinya dapat dicapai jadi
bukan angan-angan. Realistic artinya sesuai dengan kemampuan dan
sumber daya yang ada, dengan kata lain tidak terlalu mudah dan tidak terlalu
sulit tetapi tetap ada tantangan. Time artinya ada batas waktu
yang jelas baik mingguan, bulanan, triwulan, semesteran atau tahunan sehingga
mudah dinilai dan dievaluasi.
Semoga
perencanaan kota
kedepan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan seluruh stakeholder
mampu menempatkan diri sesuai fungsi masing – masing. Yang tidak kalah penting
setiap unsur perencana harus mengacu pada strategi pengembangan kota guna mendapatkan arah
pembangunan yang jelas .
(Dimuat Jawa Pos Radar Blitar 26 November 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar