Rabu, 09 Februari 2011

Sanitasi Dalam Perspektif Pemberdayaan


Sejak terjadi perubahan paradigma pembangunan kesehatan dari represif kuratif menjadi promotif preventif atau dengan kata lain berubah dari menangani penyakit menuju pencegahan penyakit, masalah sanitasi menjadi topik penanganan yang serius. Hal ini dikarenakan kualitas sanitasi berperan dalam upaya pencegahan penyakit. Berbagai definisi muncul dari istilah sanitasi diantaranya adalah upaya pencegahan penyakit menular dengan memutus mata rantai dari sumbernya (Azwar,1990) . Dalam hal ini tentunya menyangkut bagaimana pembuangan limbah baik padat maupun cair dari rumah tangga serta penyediaan air bersih yang layak. Sampai saat ini tampaknya pembangunan sanitasi belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan terkait target akses fasilitas sanitasi dasar bagi masyarakat maupun kualitas sanitasi lingkungan.

Fakta yang harus diakui bahwa ada korelasi yang tidak proporsional antara kebutuhan akan sarana sanitasi yang layak dengan alokasi anggaran dari pemerintah. Pada umumnya alokasi untuk pembangunan sanitasi kurang dari 1 % dibanding APBD daerah. Melihat kondisi tersebut tentunya diperlukan langkah – langkah alternatif untuk dapat mencapai kondisi sanitasi yang layak.

Apabila kita mengacu pada konsep baru pembangunan yaitu people centered, parcipatory, empowering and sustainable ( Chamber 1995 dalam Kartasasmita 1996), ada salah hal yang mungkin masih belum dioptimalkan yaitu empowering atau pemberdayaan. Berusaha mengoptimalkan potensi yang dimiliki untuk memecahkan permasalahan masyarakat itu sendiri, kiranya merupakan langkah konkrit yang cukup efektif.

Salah contoh yang dapat kita lihat dari aplikasi konsep pemberdayaan tersebut  adalah program CLTS ( Community Led Total Sanitation) atau terjemah bebasnya Sanitasi total yang dipimpin oleh masyarakat. Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan yang intinya menekankan bukan pada pemberian subsidi secara cuma – cuma kepada masyarakat dengan fasilitas sanitasi yang buruk melainkan pemberian stimulus yang dapat membuat masyarakat tersebut mampu menangani masalah sanitasinya. Hasil dari pelaksanaan program ini cukup bisa memberi kontribusi dalam hal peningkatan akses masyarakat akan sarana sanitasi khususnya jamban. Salah satu daerah yang cukup berhasil melakukan prinsip pemberdayaan untuk peningkatan kepemilikan jamban keluarga adalah Kabupaten Trenggalek. Pada daerah ini peningkatan jumlah wilayah yang telah mencapai status Open Defecation Free (ODF) cukup signifikan bahkan menargetkan seluruh wilayahnya berstatus ODF maksimal akhir tahun 2012. ODF adalah kondisi yang menggambarkan terbebasnya wilayah tersebut dari segala bentuk buang hajat di sembarang tempat.

Fakta diatas kiranya perlu dicermati sebagai strategi pembangunan sanitasi yang mengarusutamakan pemberdayaan. Hal tersebut dikarenakan tidak mungkin Pemerintah mampu mengalokasikan anggaran untuk program jambanisasi secara keseluruhan dikarenakan kompleksnya masalah sanitasi.
Strategi pemberdayaan dalam pembangunan sanitasi memang tidak tanpa masalah. Secara jujur harus diakui bahwa umumnya masyarakat kita cenderung kurang memprioritaskan masalah sanitasi apabila dibandingkan dengan masalah ekonomi ataupun gaya hidup. Banyak terjadi warga yang telah mampu memiliki fasilitas sekunder seperti televisi dan kendaraan bermotor tapi masih belum mempunyai fasilitas sanitasi dasar yang memadai.

Selain itu masalah kebiasaan yang sudah mendarah daging juga tidak begitu saja bisa diubah dikarenakan ini menyangkut rasa nyaman. Masyarakat yang sudah terbiasa buang hajat di sungai tidak begitu saja bisa mengubahnya tanpa adanya pendekatan yang baik. Permasalahan ini juga menjadi semakin pelik ketika terjadi di wilayah perkotaan yang memiliki keterbatasan dalam ruang namun pertumbuhan penduduk relatif pesat dikarenakan urbanisasi yang sulit dikendalikan.

Saat ini mungkin adalah waktu yang tepat untuk mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat khususnya untuk pembangunan sanitasi, dikarenakan secara faktual kita jumpai penyakit yang disebabkan oleh kondisi sanitasi yang buruk terus mengalami peningkatan. Contohnya penyakit yang dibawa akibat kondisi air yang buruk (water borne diseases) seperti diare, thypus selalu bertengger pada 10 penyaki tertinggi yang dirilis oleh Dinas Kesehatan. Fakta inilah yang perlu disosialisasikan dengan intens kepada masyarakat sebagai wujud pendekatan dalam upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan sanitasi.

Dalam era pembangunan sekarang masyarakat perlahan diposisikan sebagai subyek dalam pembangunan, dengan mengikutsertakan mereka dalam pembangunan baik tahapan perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan. Kondisi ini merupakan modal yang bagus untuk lebih mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat. Semoga dengan optimalnya pemberdayaan masyarakat maka penyediaan sanitasi yang layak dapat tercapai tentunya dengan kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat.
(Dimuat Jawa Pos Radar Blitar Februaru 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar