Rabu, 08 Juni 2011

Quo Vadis Pengelolaan Lingkungan hidup ?


Undang – Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 mengamanatkan keseimbangan hak dan kewajiban setiap warga Negara dalam masalah lingkungan hidup. Di satu sisi lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia, sebaliknya setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran lingkungan.
Secara teori, konsep tersebut sangatlah ideal dalam menciptakan lingkungan hidup yang sehat dan lestari, tetapi pada kenyataannya sungguh jauh panggang dari api. Permasalahan lingkungan hidup makin hari kian kompleks karena tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan hidup terkait dengan semua aspek kehidupan baik ekonomi, sosial bahkan politik.
Apabila kita cermati satu demi satu permasalahan tersebut maka akan kita dapati betapa ruwetnya pengelolaan lingkungan hidup di negeri ini. Derivasi dari Undang – Undang PPLH tersebut berjalan relatif lambat sehingga sering membuat kesulitan bagi daerah untuk dapat membuat kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.
Selain itu pembangunan berbasis eksploitasi sumber daya alam kini seolah menjadi tren dalam konsep pembangunan di negeri ini. Contoh konkritnya adalah  kebijakan dari Kementerian ESDM untuk meningkatkan kapasitas batubara di Kalimantan. Dengan alasan kesulitan mendapatkan energi berbasis minyak karena lifting yang tidak mencukupi, akhirnya batubaralah yang menjadi sasaran untuk dikeruk lebih besar. Hal ini tentu menjadi sebuah bencana apabila tidak diimbangi dengan langkah pengelolaan dan pemantuan lingkungan  dalam kegiatan pertambangan sampai upaya recovery lahan bekas pertambangan.
Produk hukum kehutanan terbaru mengenai Inpres Moratorium ( penundaan) ijin hutan primer dan ladang gambut yang pada 20 Mei lalu ditandatangani  oleh  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh banyak pihak dipandang kurang efektif  karena sasarannya adalah hutan primer (hutan yang belum pernah didayagunakan) sehingga kurang  memberi kontribusi untuk rehabilitasi hutan yang telah rusak. Walaupun demikian tentu saja secara obyektif  inpres ini juga perlu diapresiasi sebagai  langkah menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Permasalahan lain dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah kurang diacunya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang merupakan salah satu sarana mengatur pembangunan berkelanjutan yang didasarkan pada konsep spasial. Padahal RTRW umumnya memberi patokan yang jelas mengenai peruntukan wilayah di suatu daerah untuk dapat memberi keselarasan dalam pembangunan dan kelestarian lingkungan. Hal ini tentunya juga memberi gambaran komitmen suatu daerah dalam mengemban misi pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan dengan mengedepankan ego sektoral juga masih terjadi, sehingga yang menjadi tujuan adalah pencapaian target per sektor tanpa diimbangi dengan konsep saling mendukung dengan sektor yang lain. Dengan kata lain pembangunan yang terjadi belum dapat mengakomodir sudut pandang lingkungan hidup.
Keterbatasan data dan akses informasi juga merupakan persoalan serius dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pada umumnya belum terdapat inventarisasi tentang kondisi lingkungan hidup yang akurat, sehingga tentunya sulit merumuskan sebuah konsep pengelolaan lingkungan hidup yang tepat sasaran dan berkelanjutan (sustainable).
Masalah lain yang cukup klise adalah kecilnya besaran anggaran untuk pengeloaan lingkungan hidup. Fenomena ini terjadi hampir di seluruh negeri ini. Hal ini diperparah dengan relatif  lemahnya kelembagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup
Berdasarkan inventarisasi permasalahan di atas tentunya perlu langkah cepat dari pusat terkait dengan akselerasi derivasi peraturan dari Undang – undang PPLH yang mengamantkan sedikitnya dua puluh peraturan turunan.
Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan produksi yang terbukti menghasilkan perbaikan ekonomi tetapi relatif  gagal di bidang sosial dan lingkungan juga harus diubah menjadi pembangunan yang menyejajarkan aspek ekonomi dengan aspek sosial dan lingkungan. Riset untuk alternatif energi juga perlu dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan energy fosil yang terbukti menjadi actor penting dalam perusakan lingkungan.
Komitmen dari tingkat daerah sampai ke pusat untuk melaksanakan pembangunan berdasar RTRW yang telah tersusun, juga menjadi penting dalam upaya pelaksanaan pembangunan yang sistematis dan terencana dari aspek spasial.
Pembangunan yang mengedepankan ego sektoral perlu direvisi menjadi pembangunan yang terhubung satu sama lain menjadi sebuah siklus, sehingga tidak bersifat linier. Masing – masing stakeholder harus menyadari potensi dan kelemahannya sehingga saling mengisi mencapai pembangunan yang selaras, serasi dan seimbang.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah inventarisasi data dan informasi lingkungan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Selama ini yang umumnya terjadi, data dan informasi lingkungan bukan menjadi bagian penting dalam menjamin keberlanjutan pembangunan.
Maslah lingkungan hidup adalah urusan semua pihak, oleh karena itu apabila pemerintah saja yang dibebani untuk mengelola lingkungan hidup tentunya tidak akan mampu. Untuk itu peran aktif dari pihak di luar sangat diharapkan, misalnya melalui program Coorporate Social Responsibilty (CSR) dari pihak industri dan rasa handarbeni (memiliki) dari masyarakat terhadap setiap upaya pengelolaan lingkungan hidup.
Sekarang saatnya untuk kembali dengan komitmen yang dilahirkan dari KTT Bumi di Rio de Jenairo Brasil Tahun 1992 berupa konsep pembangunan berkelanjutan dan bukan perusakan lingkungan berkelanjutan.
(Dimuat Jawa Pos Rdar Blitar 8 Juni 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar