Beberapa waktu
yang lalu sengketa lingkungan di wilayah Blitar Raya sempat menjadi berita
hangat di harian ini (Radar Blitar). Permasalahan tersebut adalah pro kontra
penambangan pasir besi di pantai pasur yang terletak di Desa Bululawang
Kecamatan Bakung Kabupaten Blitar. Unjuk rasa warga pro penambangan melibatkan puluhan truk pengangkut pasir menuntut agar
penambangan pasir besi terus berjalan, seolah menjadi tandingan demonstrasi
warga sebelumnya yang menuntut penutupan penambangan pasir besi karena dianggap
merusak lingkungan. Argumen yang diajukan kedua belah pihak adalah permasalahan
lingkungan klasik selama ini yaitu perbedaan kepentingan antara yang
menginginkan lingkungan tetap lestari dan di sisi yang lain adalah faktor
ekonomi sebagai alasan eksploitasi alam. Kiranya sangat tidak bijak apabila dua
kepentingan ini terus berdiri sebagai unsur yang saling bertentangan, padahal
seharusnya keduanya harus berdiri sebagai elemen yang saling mendukung.
Sejarah telah
mencatat bahwa pertentangan kepentingan sebagai dinamika bangsa ini terbukti
mampu diatasi dengan kearifan lokal. Sebagaimana kita ketahui bahwa kearifan lokal
adalah cara – cara yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat yang berasal
dari pemahaman mendalam mereka akan lingkungan setempat. Pemahaman tersebut
tercipta dikarenakan tinggal di tempat itu secara turun temurun. Tentunya kearifan
lokal mempunyai karakteristik yang khas sesuai dengan situasi dan kondisi
wilayah masing – masing. .
Sebagai
masyarakat yang tinggal di kawasan Blitar Raya harus diakui bahwa kita telah
mempunyai budaya kearifan lokal yang khas diantaranya tepo sliro (tenggang rasa) atau saling menghormati kepentingan
orang lain. Hal ini apabila kita dikaitkan dengan permasalahan diatas
semestinya penyelesaiannya dapat berjalan dengan lebih elegan. Namun kita juga
tidak menutup mata bahwa iklim demokrasi di negeri ini juga telah membuka
kebebasan public dalam menyalurkan aspirasinya.